Kenduri Rindu dan Rintih Petani
10152 View
Puisi Zen KR. Halil*
Kenduri Rindu
(Juara III Lomba cipta Puisi Penerbit Yumna Publisher)
Tak ada bunyi lebih bising
Ketimbang rindu yang melengking nyaring dalam diriku
Ketika malam harus takluk tunduk pada kesepian yang tabu.
Serupa pesta ramai berdawai dalam kepala
Suara-suara trompet bersahutan
Menyuarakan kenangan masa silam.
Lalu, sederet kisah seketika berdesakan
Menari-nari di mataku
Menostalgia cemas yang terkupas tuntas dalam pelukmu
Atau manakala kita merangkai canda begitu candu
Hingga tawa membuncah ruah
Menindih benih letih
Yang tumbuh dari keluh dan resah.
O, betapa rindu adalah Nil memanjang di hatiku
Mengalirkan ingin sepanjang angan
Dan tak akan pernah bermuara
Selain ke hatimu saja.
Maka, sungguh ingin sekali cepat-cepat kulipat jarak
Agar sepimu dan sepiku
Segera bersulang riang
Di sebuah ruang impian bernamakan pertemuan.
2019
*Zen KR. Halil adalah santri PP. Annuqayah daerah Lubangsa asal Batang-batang, Sumenep Madura. Yang menyukai puisi sejak aktif di Komunitas PERSI. Sejumlah puisinya pernah dimuat di berbagai media. Tercatat sebagai Mahasiswa Instika Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi.
Sajak-Sajak Rizqi Mahbubi* (Dimuat di Buletin Sidogiri edisi Muharram 1441) Rintih Petani Tak lagi kutahu Adakah almanak kelak Masih merangkai musim silih berganti Sedang jemari orang, Cuma sibuk menghitung hutang Kening berkerut, tentang sengkarut harga pasar Adakah tangan petani Setia mendekap hangat ladang-ladang Sedang tiang-tiang menjadi pohonan Tembok tinggi memperkecil jarak pandang Padahal angin desember Masih ingin menggiring mendung Ke teduh caping mereka Tapi, sekian lama sudah Baskara dan purnama Jadi bayang semu; Terlalu jemu dipandang Bintang tinggal tenggelam Dalam kelap-kelip diskotik Tak lagi kutahu Adakah lidah Masih kuasa menyayikan madah Dari celah tanah, reranting, dan angin Memanggil rintik-rintik hujan Mengusir rintih- rintih kemarau. Lubangsa, 2019 Surat Kecil Buat Ibu Barangkali, aku sulit mencatat kerut di tanganmu yang dahulu setia menepuk pundak agar tetap tegak menjaga nyala di dada. Namun Insyaallah di nanti, aku bakal mengalir sebening doamu. memelukmu sembari berderai air mata Walau tidak sejernih jannah di telapak kakimu. Annuqayah, 2019 Nyala Nostalgia Lilin yang kami nyalakan menghangatkan kembali almanak masa kanak-kanak; Temaram saban malam diakrabi. Sungguh tanpa keluh Segala desah luruh pada lenguh sapi di kandang. Api yang bergoyang di ujung sumbu, serupa goyang daun tembakau, Jagung, juga cabe jamu dihalaman; setia pada kami bermain kelereng dan jograng. Lelehannya sebening sungai tempat membasuk luka. Mancing ikan pada riciknya yang kami sebut kegembiraan. Pendar cahayanya seperti meruncing kembali lidi Kami pegang mengeja ayat suci. Wajah ustad-ustazah selalu kami madahkan. Di langgar yang menyimpan alir zikir. Tapi, bagaimanapun kami harus tetap tabah; Pohon ditumbangkan, merata menjelma pabrik Mencipta bising pada kuping yang mendamba tenang. Hanya nyala sebatang lilin mampu melukiskan Duka kami seperti sabar tubuhnya terbakar. 2019
Rizqi Mahbubillah
*Zen KR. Halil adalah santri PP. Annuqayah daerah Lubangsa asal Batang-batang, Sumenep Madura. Yang menyukai puisi sejak aktif di Komunitas PERSI. Sejumlah puisinya pernah dimuat di berbagai media. Tercatat sebagai Mahasiswa Instika Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi.
Sajak-Sajak Rizqi Mahbubi* (Dimuat di Buletin Sidogiri edisi Muharram 1441) Rintih Petani Tak lagi kutahu Adakah almanak kelak Masih merangkai musim silih berganti Sedang jemari orang, Cuma sibuk menghitung hutang Kening berkerut, tentang sengkarut harga pasar Adakah tangan petani Setia mendekap hangat ladang-ladang Sedang tiang-tiang menjadi pohonan Tembok tinggi memperkecil jarak pandang Padahal angin desember Masih ingin menggiring mendung Ke teduh caping mereka Tapi, sekian lama sudah Baskara dan purnama Jadi bayang semu; Terlalu jemu dipandang Bintang tinggal tenggelam Dalam kelap-kelip diskotik Tak lagi kutahu Adakah lidah Masih kuasa menyayikan madah Dari celah tanah, reranting, dan angin Memanggil rintik-rintik hujan Mengusir rintih- rintih kemarau. Lubangsa, 2019 Surat Kecil Buat Ibu Barangkali, aku sulit mencatat kerut di tanganmu yang dahulu setia menepuk pundak agar tetap tegak menjaga nyala di dada. Namun Insyaallah di nanti, aku bakal mengalir sebening doamu. memelukmu sembari berderai air mata Walau tidak sejernih jannah di telapak kakimu. Annuqayah, 2019 Nyala Nostalgia Lilin yang kami nyalakan menghangatkan kembali almanak masa kanak-kanak; Temaram saban malam diakrabi. Sungguh tanpa keluh Segala desah luruh pada lenguh sapi di kandang. Api yang bergoyang di ujung sumbu, serupa goyang daun tembakau, Jagung, juga cabe jamu dihalaman; setia pada kami bermain kelereng dan jograng. Lelehannya sebening sungai tempat membasuk luka. Mancing ikan pada riciknya yang kami sebut kegembiraan. Pendar cahayanya seperti meruncing kembali lidi Kami pegang mengeja ayat suci. Wajah ustad-ustazah selalu kami madahkan. Di langgar yang menyimpan alir zikir. Tapi, bagaimanapun kami harus tetap tabah; Pohon ditumbangkan, merata menjelma pabrik Mencipta bising pada kuping yang mendamba tenang. Hanya nyala sebatang lilin mampu melukiskan Duka kami seperti sabar tubuhnya terbakar. 2019
Rizqi Mahbubillah
Lahir di Pakandangan sangra, Bluto, Sumenep. Sekarang santri aktif PP. Annuqayah daerah lubangsa. Juga tercatat sebagai siswa kelas IX MTs 1 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur. Puisinya pernah dimuat di Radar Madura, juga dalam antologi Puisi untuk Presiden (zenawa 2019). Bergiat di sanggar AIDS IKSAPUTRA , Aliansi Jurnalis Muda IKSAPUTRA [AJMI], dan KoPOG. Tinggal di Sumenep.